Resume Acara Bedah Buku Nubar Sumatera

Nubar Spesial Rumedia Sumatera, Ragam Cerita dengan Benang Merah Cinta

Buku antologi atau kumpulan cerita, khususnya yang ditulis oleh sejumlah penulis berbeda, menawarkan berbagai sudut pandang yang bermacam-macam pula terhadap suatu topik. Buku dengan konsep seperti ini pun dapat menjadi sarana latihan menulis bagi penulis pemula maupun mengasah keterampilan bagi penulis yang sudah lebih lama berkecimpung di dunia literasi. Sadar akan hal ini, Emmy Herlina, Manajer Nubar Rumedia Area Sumatera, menginisiasi event Nubar spesial Sumatera Ada Cinta di Setiap Aksara dan Mi Familia tahun lalu.

“Bulan Oktober tahun 2020, saya membuat event Ada Cinta di Tiap Aksara untuk memperingati milad Pak Ilham (founder Rumedia), juga Mi Familia memperingati Milad Area Sumatera. Saya menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta, jadi garis besar tema event saya biasanya tentang cinta. Kali ini saya ingin membuat buku yang menceritakan proses menjadi penulis, jadi (temanya) cinta literasi,” urai Emmy dalam acara bedah buku untuk kedua judul tersebut yang diselenggarakan secara daring, Senin (9/08).

Dengan usia yang sudah melewati tahapan balita, Nubar atau Nulis Bareng memang makin eksis menelurkan karya. Berawal dari event antologi duet tahun 2015, Ilham Waluya atau dikenal juga dengan nama Ilham Alfafa lalu membuat berbagai kegiatan menulis bersama maupun solo. Awalnya kegiatan ini diberi nama 21PK (21 Penulis Kreatif), lalu berubah menjadi Project Menulis Bersama (PMB). Bulan Maret, lahirlah nama Nulis Bareng atau disingkat Nubar. Ilham kemudian merintis berdirinya Penerbit Rumah Media atau Rumedia Grup yang kemudian resmi menjadi CV pada tahun 2017. Dalam bedah buku ini, Ilham turut membahas aneka motivasi menulis yang meski berbeda-beda itu sah-sah saja.

“Wajar ada yang menulis lalu mengharapkan uang. Kita menulis kan butuh energi, listrik, makan, sarana seperti laptop atau hp. Yang lain menulis untuk keabadian, siapa tahu sekian tahun kemudian karya positifnya memberikan pahala bagi dirinya. Ada yang menulis untuk persembahan kepada orang tuanya, atau mengeluarkan unek-unek agar plong, untuk kesehatan juga,” terang Ilham.

Selain punya motivasi yang bervariasi, pastinya tiap penulis juga memiliki tips masing-masing dalam menghasilkan karya tulisan.

“Saya sendiri menulis “Curahan Hati Sang Penulis Serampangan” sebagai penulis yang mengandalkan mood. Kita nggak perlu merasa nggak pede (dengan kondisi masing-masing). Bagaimana pun karakter kita, kalau kita memang berkeinginan menjadi penulis, ya, bisa-bisa saja. Medianya juga banyak banget, misalnya tidak di buku pun ada sarana seperti blog,” tegas perempuan yang menjabat Manajer Area Sumatera sejak Oktober 2018 ini. Kata “aksara” sendiri adalah kata favorit Ilham, sehingga dipilih oleh Emmy sebagai judul salah satu antologi istimewa ini.

Nubar sendiri hanyalah satu dari sederetan produk Rumedia saat ini. Selain itu masih ada Sehari Bisa Menulis Buku (SBMB) yang menyajikan materi cerpen, materi how to/tips, materi artikel, hingga yang terbaru materi puisi. Ada juga program belajar membuat desain cover dan tata letak buku. Rumah Media Grup sendiri terdiri atas Penerbit Rumah Media, Deejay Training Center, Penulis Cilik atau Pencil, serta Kalam Media Dakwah. Informasi dan cerita selengkapnya tentang Rumedia bisa disimak di Facebook, Twitter maupun Instagram dengan nama akun Penerbit Rumedia, juga website www.rumahmediagrup.com dan www.nubarnulisbareng.com.

Acara bedah buku ini menghadirkan sejumlah penulis yang sudah sering berpartisipasi dalam event nubar. Rhea Ilham Nurjanah misalnya. Dalam buku Ada Cinta di Tiap Aksara, Rhea menyoroti mitos-mitos seputar menulis.

“Ada sepuluh mitos menulis yang saya rangkum. Di antaranya, bahwa menulis itu bukan soal bakat. Padahal, menulis itu lahir dari hasil belajar. Semua itu proses, bukan bakat. Lalu ada juga yang mengatakan tidak suka membaca tapi suka menulis itu nggak apa-apa. Padahal membaca itu, kan, penting untuk amunisi penulis. Penulis harus selalu perlu membaca untuk bisa lincah dalam merangkai kata. Fiksi sekalipun tetap perlu referensi agar tetap realistis. Lalu, penulis tidak perlu pintar mengedit, ini anggapan yang sangat salah. Apalagi kalau mengirim ke penerbit mayor. Pada pandangan pertama tampilannya sudah berantakan, maka sekalipun isinya bagus maka akan menjadi tidak menarik. Bisa berujung “dibuang”, bahkan sebelum dibaca keseluruhannya.

Mitos lain, kesulitan mencari ide. Padahal ide itu bisa dilatih dengan tiap hari kita membuat tulisan kecil. Ketika kita melihat sesuatu sehari-hari, tulis saja, jadi setiap saat ide bisa mengalir,” ungkap Rhea.

Penulis lainnya, Endah Sulistiowati, menceritakan motivasinya menulis untuk mendapatkan pahala.

“Banyak yang menganggap bahwa menulis itu menjadi sebuah beban. Padahal, jadikan menulis itu sebuah kebutuhan. Jika menjadikannya sebagai kebutuhan, insya Allah menulis itu mudah saja. Jadikan menulis salah satu bentuk menebar kebaikan, mengejar pahala jariyah. Bismillah, dengan tujuan ini, saya menulis sehari satu tulisan. Insya Allah dengan niat yang ikhlas, kita tidak akan pernah kehabisan ide,” kata perempuan yang tinggal di Kediri ini.

Rutinitas menulis sehari-hari ini juga diterapkan oleh kontributor lain, Wawang Yulibrata. Bedanya, kebiasaan tersebut awalnya bertujuan sebagai bentuk terapi untuk Wawang yang pernah mengalami gegar otak.

“Gegar otak tahun 2019 membuat saya kehilangan beberapa memori. Sampai tidak ingat huruf Hijaiyah dan hitungan sederhana. Mengobrol pun loncat-loncat. Saya harus mengenal aksara kembali, belajar lagi dalam menyampaikan sesuatu dengan runut. Lalu ada teman konselor yang memberi saran untuk lima menit menulis apa saja yang terlintas di kepala setiap bangun tidur,” tutur pemegang gelar Magister Teknik Lingkungan ini.

“Awalnya susah sekali. Akhirnya sampailah pada bulan ketujuh (menjalani rutinitas ini), saya merasa bahwa lima menit itu kurang karena banyak yang ingin diungkapkan. Rasanya jadi plong, seperti benang kusut di kepala terurai,” lanjutnya. Perempuan yang pernah tinggal di Bangkok ini juga mengirimkan tulisan untuk buku Mi Familia, kali ini bertutur seputar keluarganya yang memiliki banyak anak, yang dipandang aneh ketika ia tinggal di negara tersebut.

Buku Ada Cinta di Tiap Aksara juga memuat kisah Rinaksih Widiarsanti atau Santi yang baru mulai menulis sejak pandemi Covid-19 melanda.

“Tidak menyangka, saya yang tadinya tidak kenal dunia tulis-menulis akhirnya masuk ke sini. Awalnya diajak oleh Mbak Rere. Tidak terasa sudah setahun, sudah 17 antologi dan menang lomba di majalah online,” sebutnya dengan mata berbinar.

Rere yang disebutkan oleh Santi adalah Re Reynilda. Alumnus UGM yang rajin mengikuti event Nubar ini ikut menulis untuk buku Mi Familia. Dalam buku itu, ia mengulas pengalamannya menjalani episode kehidupan sebagai seorang ibu. Menurut Rere, seorang ibu tidak perlu terlalu terbebani untuk selalu menjadi sempurna.

“Pesan yang ingin disampaikan adalah, it’s OK to make mistakes. Kita bukan robot yang terprogram untuk tidak melakukan kesalahan dalam mengurus keluarga dan semua hal lainnya. Ibu juga manusia, bisa salah dan bisa kalah. Tak perlu merasa terlalu bersalah, asal bisa mengambil hikmah dan belajar untuk lebih awas. Kalau sudah telanjur salah, berbesar hatilah dan meminta maaf. Tapi, anak-anak harus paham bahwa ibunya bukan robot dengan program berteknologi tinggi yang tanpa cela,” jelas Rere.

Dengan banyaknya tulisan yang sudah masuk ke Rumedia, tidakkah para penulis kehabisan ide? Ilham menyodorkan bukti bahwa para penulis yang tergabung dalam Nubar ternyata tetap produktif. Dalam sebulan, rata-rata ada 20 buku Nubar yang terbit. Tak lupa Ilham mengingatkan, harapan dalam menulis harus sebanding dengan usahanya. Misalnya, penulis juga perlu rajin mempromosikan bukunya. Dengan demikian, semoga tulisan yang sudah dibukukan ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas. Selain itu, tentunya juga ada bonus uang tambahan dari hasil penjualan buku.

Acara Bedah Buku Aksara dan Familia dari Nubar Area Sumatera

[Leila Rizki Niwanda]

0Shares

Tinggalkan Balasan