PANUTANKU YANG MENGHILANG
Tuuut…
Bunyi panjang mesin monitoring ICU yang dibarengi dengan suara zikir bapak yang menghilang dan ibu yang menangis lebih keras terdengar, tak kuasa menahan kesedihan yang begitu mendalam kami semua berduka kehilangan sosok pemimpin yang tak pernah menyerah untuk membahagiakan keluarganya. Sejak kecil Bapaklah yang menjadi panutan, Allah lebih sayang pemimpin keluarga kami, kini beliau tak lagi menahan sakit lagi.
Bapak pernah berkata walau hidup serba kecukupan, tapi impian harus besar dan pendidikan harus diraih setinggi-tingginya. Sebagai anak pertama aku harus menjadi contoh untuk adikku. Awalnya setelah tamat SMA ingin sekali membantu Bapak mencari nafkah.
“Sudah kamu kuliah saja, jika pendidikan tinggi insya Allah kehidupanmu akan lebih nyaman, Le.” Bapak sangat keberatan jika anaknya menolak tidak melanjutkan kuliah, akhirnya kuputuskan mencari universitas di kota tempat kutinggal.
Setahun menjalani perkuliahan, tiba-tiba bapak jatuh sakit dan semua tabungan bapak habis untuk biaya pengobatan bapak. Lantas bagaimana kuliahku? Aku pernah berpikir untuk berhenti dan mencari perkerjaan namun Bapak selalu melarang.
Cara satu-satunya agar tak memberatkan Bapak, aku belajar lebih giat untuk mendapatkan beasiswa. Walau dalam keadaan sakit ia tetep giat mencari nafkah. Alhamdulillah, Allah beri aku kesempatan untuk membuat Bapak bangga. Beasiswa sampai lulus sudah kudapatkan.
Setelah kepergian Bapak, demi menyambung hidup Ibu menjadi pengasuh anak balita dan aku masih kuliah dengan Beasiswa. Dengan keterbatasan uang aku membuka jasa guru privat untuk kebutuhanku kuliah.
Sampai akhirnya aku mendapatkan gelarku walau bapak sudah tak ada. Janjiku terhadap Bapak, aku akan membuatnya bangga dan membuat Ibu dan Adik hidup berkecukupan. Sulit untukku dan Adik ketika melangkah tak ada lagi tangan yang mendorong dengan semangat. Kini hanya ada doa Ibu yang selalu menyertai langkah demi langkah perjalanan kami.
Cibitung. 9 Agustus 2020
Nulisbareng/putrizaza