Sumber: Pesona

Padamu yang Kusebut Ayah oleh Nopiranti

Padamu yang Kusebut Ayah

(Nopiranti)

Pada cermin manapun aku berkaca, tetap yang kulihat adalah bayangan tubuh anak lelaki ringkih yang menggigil mengharap dekap pengusir pilu. Berlebihankah pintaku? Begitu beratkah kedua lengan kekarmu terentang untuk menjangkauku. Lalu membawaku pada peluk hangat di bidang dadamu?

Padamu yang kusebut Ayah, bibirku sudah lama bungkam tanpa lantunan pinta dan rengekan yang pekakkan telingamu. Seperti pintamu padaku setiap detik bukan? Menyuruhku diam, bahkan sebelum bibirku sempat bergerak. Hardikmu telah musnahkan kata seketika.

Dengan suaramu yang menggelegar terasa merontokkan tulang, bola mata yang lebar membelalak seolah ingin memakanku hidup-hidup, dan rentangan jemari yang selalu siap mendarat di pipiku yang semakin tirus. Sungguh adegan menjenuhkan yang harus kualami berulang setiap hari.

Padamu yang kusebut Ayah, benakku semakin sepi tanpa kecamuk mimpi dan harap. Itukan maumu? Setiap saat kau jejalkan ke telingaku agar aku tahu diri, tidak menyusahkan, dan menjadi beban untukmu. Dengan sadar diri kukubur dalam-dalam semua mimpi di palung terdalam jiwaku yang terus layu merapuh.

Namun, secercah asa masih kulihat. Meski samar hanya kerlip di ujung lorong. Lelehan air mata kepedihan inilah yang membuatku bertahan. Tetesnya membuat tunas-tunas cita di hatiku tetap tumbuh. Meski lajunya tak begitu nampak, tapi aku yakin jiwa lemahku masih akan tetap hidup. Ia tak akan mudah mati begitu saja sebelum kuncup mekar. Tegar menentang matahari.

Padamu yang kusebut Ayah, tak lelahkah ragamu memuntahkan amarah? Tak kebaskah tanganmu mengayunkan kebencian? Tak penatkah benakmu menguras dendam? Tak inginkah jiwamu tenang, kembali dalam belai lembut kasih sayang yang dulu pernah merajai hari-hari kita?

Hari-hari damai saat senyummu melukis ramah di wajahmu. Menghadirkan rasa aman di jiwaku. Memberi aura keceriaan yang lingkupi rumah kita. Rumah yang selalu rapi dan bersih karena sentuhan jemari ajaib Ibu. Sebelum Ibu memutuskan berangkat mencari peruntungan menjadi TKW ke Timur Tengah.

Waktu itu aku baru masuk sekolah dasar. Sekarang aku sudah akan menyelesaikan SMP. Ibu belum juga berniat kembali. Membungkam rindu yang terus berteriak dalam diamku. Melerai sepi yang semakin dingin membekukan hati yang tercabik luapan amarah Ayah.

Amarah yang aku tahu tidak beliau kehendaki. Semua hanya pelampiasan jiwanya yang juga luka seperti aku. Luka menanggung rindu dendam padamu, Ibu. Luka penyesalan tak berujung karena merasa harga dirinya sebagai kepala keluarga seakan terhempas hingga titik nadir.

Terlebih sejak kehadiran wanita dan dua anak kecil itu di rumah kita. Wanita yang dulu kukira hadirnya bisa mengobati rinduku pada Ibu. Namun nyatanya justru semakin mengoyak luka. Tatap sinisnya, kejam prasangkanya, hardik katanya, dan bengis ayunan tangannya. Persis sama seperti apa Ayah lakukan padaku.

Kapan derita ini reda? Aku lelah, Ayah. Aku rindu Ibu. Ibu yang meski jauh di mata, namun tetap selalu kudekap dalam doa. Semoga takdir mempertemukan kami kembali. Dalam sentuhan kasih dan dekapan sayang. Di rumah indah dan hangat, penuh luapan cinta.

Aku akan dan harus tetap tegar bertahan, hingga saat itu tiba, Ibu.

Minggu, 13 Desember 2020.

NulisBareng/Nopiranti

0Shares

Tinggalkan Balasan