Haruskah Kita Merasa Kehilangan?
Hilang. Apa itu kehilangan? Pernahkah kau merasa kehilangan?
Jujur saja, aku pernah. Sekadar kehilangan seorang teman yang terbiasa kuberbincang dengannya sebelum kemudian dia pergi. Atau kehilangan uang yang kurasa masih kumiliki di dalam dompet lalu ternyata tidak ada. Atau yang paling dahsyat adalah momen kehilangan almarhum ayahku untuk selama-lamanya. Ketika seharusnya aku berbahagia dengan kehamilan pertama yang kunanti-nanti lebih dari dua setengah tahun lamanya, justru di saat yang sama ayahku berpulang di tempat kerjaku sendiri.
Dulu aku merasa betapa untuk meraih suatu anugerah mengapa aku harus kehilangan satu lainnya? Betapa untuk terwujudnya satu keinginan ada harga yang mahal yang harus dibayar?
Satu hal penting terlupakan saat itu. Hal terpenting yang seringkali diabaikan oleh manusia, termasuk diriku sendiri.
Tahukah Teman, akan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail?
Suatu hari Nabi Ibrahim memperoleh mimpi untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Mimpi yang terus berulang-ulang, semakin meyakinkan bahwa ternyata itu merupakan perintah dari Yang Maha Kuasa. Sebagai bukti ketakwaannya, Nabi Ibrahim akhirnya menjalankan perintah tersebut. Padahal Nabi Ismail merupakan putra tunggal yang baru didapatkannya setelah 80 tahun menikah dengan istrinya, Siti Hajar. Bayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim ketika itu? Namun bagaimanapun dia memilih untuk menaati perintah Allah, seiring dengan persetujuan dari Nabi Ismail sendiri.
Di penghujung cerita, saat Nabi Ibrahim telah bersiap untuk menyembelih putranya, Allah menggantikan dengan seekor kambing yang kemudian disembelih Nabi Ibrahim dan menjadi awal dari perintah berkurban pada hari raya Idul Adha. Kebetulan sekali, Idul Adha baru saja berlalu. Kisah ini menjadi sejarah sepanjang masa dan tertorehkan di dalam Alquran.
Ada satu hikmah terpenting yang terbersit dalam kisah tersebut. Allah SWT ternyata bukanlah memerintah Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya sendiri. Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih rasa cintanya kepada darah dagingnya, untuk mengingatkan bahwa semestinya kita lebih mencintai Allah swt dibandingkan semua titipan dari-Nya. Seperti yang diutarakan dalam hadist Nabi berikut ini:
“Umar bin Khattab berkata, ‘jika engkau mencintai janganlah berlebihan seperti seorang anak kecil mencintai sesuatu. Dan, jika engkau membenci, janganlah berlebihan hingga engkau suka mencelakai sahabatmu dan membinasakannya.’”
Ada lagi sebuah hadist Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah RA, “cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya saja, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi No. 1997 dan disahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’ No. 178).
Kita seringkali terlupa, bahwa hidup ini ibarat tukang parkir. Seperti tukang parkir yang menjaga berbagai kendaraan mewah namun dia tak pernah bersikap sombong, karena tahu bahwa semua kendaraan itu bukan miliknya. Suatu waktu pemiliknya akan datang untuk mengambilnya. Begitulah dengan kehidupan kita. Anak, keluarga, rumah, dan harta benda lainnya, semua hanyalah titipan yang harus kita jaga. Kita bukanlah pemiliknya. Semua adalah titipan dari Allah swt, amanah yang harus kita jaga sebaik-baiknya.
Begitu juga yang melekat di dalam tubuh kita. Penglihatan, pendengaran, penciuman, semua organ di dalam tubuh ini, termasuk ruh yang menguasai jasad kita, semua adalah titipan dari Allah swt.
“Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah memilikinya.”
(Memiliki Kehilangan-Letto)
Haruskah kita merasa kehilangan? Bila sejatinya semua adalah milik-Nya dan akan kembali pada-Nya? Haruskah kita merasa kehilangan? Bila faktanya kita tak pernah memiliki suatu apapun? Bahkan termasuk jiwa yang kini melekat di dalam raga, semua adalah titipan dari-Nya. Waalahualam bishowab.
Bandar Lampung, 9 Agustus 2020
nulisbareng/EmmyHerlina