Ada Kisah di Balik Keluarga Fatherless
(Resensi Ayah, Aku Rindu karya S. Gegge Mappangewa)
Oleh: Emmy Herlina
Judul: Ayah, Aku Rindu
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Maret 2020
ISBN: 978-602-495-290-7
Jumlah Halaman: 192 halaman
Harga: Rp. 45.000,-
Blurb:
Samar-samar kudengar suara ayah. Ya, suara ayah. Suara yang telah lama kurindukan itu terdengar dari ruang tamu. Ada sebuah rasa yang menyusup ke dalam dadaku. Rasa bahagia yang melonjak-lonjak.
Doa itu?
Doa yang selama ini kupanjatkan dengan menyebut nama ayah di dalamnya, ternyata begitu cepat dikabulkannya.
***
Dari penggalan blurbnya saja sudah sangat menarik, apalagi judulnya yang spontan mengingatkan saya pada almarhum ayah. Iya, membaca cerita yang bercerita tentang sosok ayah, otomatis akan menjadikan perasaan rindu ini semakin membuncah.
Kesan pertama yang tertangkap setelah membaca adalah buku ini kaya diksi. Pemilihan katanya itu benar-benar menunjukkan penulisnya seorang sastrawan. Lain banget kalau saya yang nulis cerita, kata-katanya seadanya. Hihihi.
Nah, seperti layaknya novel remaja, cerita di dalamnya pun diwarnai sedikit bumbu romantika. Saya katakan sedikit, karena memang fokus cerita bukan di sana, melainkan tentang hubungan ayah dan anak ini. Awalnya saya sempat mengira, bahwa kerinduan pada ayah dikarenakan lama tidak bertemu, atau dikarenakan sudah tiada. Ternyata tidak. Justru ibunya yang sudah meninggalkan mereka dan menjadikan sang ayah akhirnya … baca sendiri, deh. Yang pasti untuk ukuran sebuah novel remaja, buku ini sarat makna. Jadi bisa dinikmati segala pihak, termasuk saya sendiri selalu orang tua.
Saya suka penempatan kutipan dalam tiap babnya. Selain bahwa kutipan berharga itu juga bertebaran di dalam bab-bab tulisan.

Contohnya ini:
“Jangan terlalu percaya cinta, Rud! Buktinya, ayah dan ibuku. Mereka bahkan masih bisa tetap saling melukai meski telah memiliki saya.” (halaman 39)
Dalem banget, kan. Sebagai orang tua, saya jadi merasa tertohok dan mewajibkan introspeksi diri.
Setelah menyimak pergulatan batin sang tokoh, akhirnya saya bisa menarik satu benang merah dari adegan yang pertama kali dituangkan dengan akhir dari kisah yang manis. Iya, saya katakan ending-nya manis. Meski untuk menuju ke sana, saya harus melalui fluktuasi hati serta menahan untuk tidak menyebut sumpah serapah.
“Lupakan? Mengapa semua orang dengan mudahnya mengucapkan kata itu? Padahal buatku, tak semua yang pernah terjadi bisa terlupakan begitu saja, akan ada beberapa bagian yang harus mengendap menjadi kenangan. Dan itulah yang biasa membuat luka.” (halaman 113)
This book has something. Kau harus melahapnya sendiri baru bisa memahami. Recommended.
Kelemahan buku ini? Banyak bawangnya! Eh, itu kelemahan apa kelebihan, ya? Yang pasti ada satu bagian yang sempat membangkitkan trauma terdalam saya. Sehingga agak-agak di-skip sedikit. Itu saja. Murni subyektif sepenuhnya.
***
Nama: Emmy Herlina
Akun Sosial Media:
FB: Emmy Herlina
IG: @emmy.herlina
Twitter: @binisasat
No. HP: 085273642724